Jakarta, 13 Oktober 2021
Kisah inspiratif dimulai 54 tahun yang silam di Desa Kunden, Kecamatan Bulu Kabupaten Sokoharjo Jawa Tengah. Sosok laki-laki dari dusun yang dulunya belum terjamah penerangan PLN, dengan penerangan lampu ublik, semangat terus belajar mengalir di darah pejuang pendidikan dari desa di pinggiran pegunungan selatan pulau Jawa ini, laki-laki itu tertulis Warno di akte lahirnya.
Warno kecil dibesarkan oleh kasih sayang kedua orang tua yang tinggal dengan damai di Kabupaten Sukoharjo bagian selatan itu. Petani Desa Kunden membesarkan 3 bersaudara dengan hasil pertanian di daerah bebatuan ini dan tentunya tidak berbekal pendidikan yang cukup. Namun Warno kecil tetap tumbuh dan berkembang bersama teman-temannya di suasana yang penuh kegotong-royongan, keceriaan dan kehangatan kasih sayang sesama.
Seperti anak-anak sejamannya, selepas lulus SDN Kunden 1 Warno melanjutkan ke SMP Pemda Bulu yang berjarak kurang lebih 2 KM yang ditempuhnya dengan kayuhan sepeda onthel. Semangat yang begitu membara di seluruh aliran darah dan nafas Warno menghantarkannya dapat mengenyam pendidikan di SPG (Sekolah Pendidikan Guru), satu-satunya yang ada di Kabupaten Sukoharjo. Bangga atas diterimanya di sekolah favorit pada jamannya, tidaklah membuat lupa diri dan sombong atas prestasinya bisa masuk SPG dengan menyisihkan ratusan bahkan ribuan pendaftar lainnya.
Tiga tahun Warno menikmati pendidikan di SPG, sekolah yang akan menghantarkan para peserta didiknya menjadi Guru SD yang menjadi program pemerintah di era Presiden Suharto. Warno tumbuh menjadi remaja yang penuh semangat, energik dan berdedikasi untuk berkidmat menjadi sukarelawan Guru yang merupakan pekerjaan mulia namun tidak prospektif di jamannya. Sebagai tambahan informasi bahwa pekerjaan Guru pada waktu itu bukanlah menjadi pilihan utama para remaja, karena gajinya kecil.
Perubahan kebijakan pemerintah era itu, bahwa lulusan SPG tidak lagi langsung bisa menjadi Guru membuat galau Warno karena harapan untuk langsung menjadi Guru SD pupuslah sudah. Tapi tekad Warno remaja untuk tetap mengabdikan dirinya menjadi seorang pendidik tetap menyala. Namun kuatnya pengaruh lingkungan menyebabkan remaja yang sudah dapat menentukan pilihan hidupnya itu memutuskan untuk merantau ke Jakarta sebagai kota metropolitan waktu itu.
Hidup di Jakarta dengan berbekal ijazah SPG ternyata belum berpihak padanya. Maka pemuda desa itupun berpikir bekerja apa sajalah yang penting halal. Sempat bekerja di beberapa perusahaan, namun hati kecilnya tetap ingin menjadi guru seperti cita-cita awalnya. Beruntung ia sering sholat berjama'ah di Masjid PTDI, disinilah babak baru ia lakukan. Mengetahui bahwa ada STAI PTDI, Sekolah Tinggi Agama Islam PTDI semangat menjadi guru menyala lagi. Di tinggalkannya pekerjaan yang selama ini menyita waktu dan tenaga, ia teguhkan hati untuk mendaftar di Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) STAI PTDI.
Untuk menompang pembiayaannya, Warno mengisi kegiatan paginya dengan berjualan koran dan ngojek sepeda. Terminal Priok menjadi markasnya. Semua kalangan menjadi temannya, baik pedagang asongan, kondektur dan sopir metro mini, sopir KWK, anak jalanan, pegawai kantoran atau pegawai swasta lainnya hingga preman priok menjadi teman kesehariannya. Suasana inilah yang menjadikan Warno menjadi pemuda yang dapat bergaul dengan berbagai kalangan, supel hambel dan rendah hati.
Sewaktu kuliah di PTDI inilah, warno ditempa menjadi manusia yang paham dengan agama, menjadi pribadi yang mendahulkukan kepentingan agama di atas kepentingan apapun. Isman Kariman Aumud Syahidan, hidup mulia atau mati syahid. Tokoh-tokoh seperti, Abdul Qodil Jaelani, Syarrifin Maloko, M. Husen Kassah, Wahid Syahroni, Ahmad Syahroni dan tokoh-tokoh PTDI lainya menjadi kiblat perjuangannya, walapun tetap Rosul tokoh idolanya. Tempaan itulah yang menjadikan pribadi yang sederhana, tawadhu', dan tentunya lurus dengan ajaran agamanya.
Nah, babak baru dimulai setelah Pak Warno mengantongi ijazah PAI STAI PTDI. Pak Warno diminta oleh Dosennya yang sekaligus pengajar di Madrasah Aliyah YAPIS Al-Oesmaniyyah untuk menjadi asistennya mengajar mata pelajaran Sosiologi. Senang, bangga, namun rasa kurang percaya diripun menyelimuti dirinya. Dulu yang hanya bercita-cita menjadi guru SD, sekarang dipercaya mengajar di tingkat SLTA, sebuah pekerjaan yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Berbagai persiapan pun dilakukan sebelum mengajar. Menghapal, menulis rangkuman, atau mempraktekan mengajar di depan cermin ia lakukan untuk mendapatkan penampilan yang luar biasa di hadapan anak-anak remaja MA YAPIS Al-Oesmaniyyah. Senyum bahagiapun didapat sesaat setelah melakukan tugas mengajar, senyum setelah puluhan tahun niat itu akhirnya terlaksanan, mengajar.
Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, tahun demi tahun ia lalui dengan kesungguhan dan terus belajar dan memperbaiki kekurangan. Dari banyak membaca literasi sosiologi sampai belajar komputer yang di belum pernah lakukan hingga saat awal menjadi Guru. Subhanallah, Allah Maha Adil dan Maha Segalanya. Keseriusan ia mengajar tanpa melihat honor yang didapatkannya, Allah takdirkan Pak Warno masuk database guru honorer Kementrian Agama yang diangkat menjadi PNS tahun 2009.
Kebahagiaan di atas kebahagiaan. Disaat orang lain bersusah payah untuk lolos tes seleksi PNS, terkadang harus mengeluarkan duit ratusan juta, Pak Warno di mudahkan jalannya untuk menempati tempat yang diinginkan banyak orang di kala itu, PNS. Sampai sekarang beliau masih tetap komitmen dengan statusnya itu. Tetap berkarya untuk kemajuan Agama dan bangsanya. Tetap menjalankan tugas-tugasnya dengan baik, walaupun ada celah untuk bersantai-santai ria seperti kebanyakan PNS lainnya.
Sukses Pak Warno, mudah-mudahan kisahmu ini menjadi ibroh buat muridmu. Kisah inspiratif ini dapat memberikan energi baru untuk pengabdi di Madrasah. Gaji kecil bukanlah alasan untuk bersantai ria atau ogah-ogahan bekerja. Namun kebaikan budimu, kesederhanaan hidupmu, keteguhan prinsipmu seolah oase di tengah padang pasir. (Humas MA Yapis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar